Perbanyaklah ‘mengunjungi’ para pendahulu kita, generasi awal ummat ini. Maka engkau akan mendapatkan sesuatu yang ‘aneh’ dari mereka, tidak terkecuali tentang masalah cinta.
Dia adalah seorang pemuda Persia. Tepatnya di kota Ishfahan, ayahnya kebetulan seorang kepala desa saat itu sekaligus keluarga terhormat dan terkaya. Hingga cinta sang ayah luar biasa terhadapnya, dia diperlakukan seperti seorang gadis, dia begitu dimanja. Singkat cerita, ia meninggalkan itu semua menuju pencarian yang panjang. Dan tepat di sana, di ujung pencariannya . Dia tidak bisa menahan jiwanya lagi. Dia segera memeluknya, memeluk Rasulullah. Pencariannya tumpas di situ di satu titik yang bernama Islam. “Sejak hari ini, aku akan menyertaimu hingga aku menghadap Allah,” Ujarnya pada Rasulullah. Bila engkau bertanya siapa dia, maka dialah Salman Al Farisy.
Tapi kali ini kita akan melihat sebuah cahaya ketulusan lain dalam perjalanan cintanya. Dan ‘kerinduan’ itulah yang mengusik kehidupannya suatu ketika. Sekarang yang ia pikirkan menemukan pasangan hidup yang menjadi sahabat berbagi kebahagiaan dan kesedihan menjalani hidup. Hmm..bukankah dia kini sudah seharusnya mewujudkan rencana mulia tersebut. Dia telah merasa menemukan pilihannya. Dirasa sebagai Istri shalehah dengan segala karunia yang diberikan Allah kepadanya. Diutarakanlah niat baiknya itu kepada sahabatnya Abu Darda’ yang ia anggap bisa membantunya memperjuangkan perasaannya.
Kedua sahabat tersebut kini melangkah ke satu rumah tempat ia akan mengutarakan niat baiknya.
Abu Darda’ mengawali, “ Saya adalah Abu Darda’, dan ini adalah saudaraku Salman al-Farisy. Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia telah memuliakan Islam pula dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki tempat yang utama di sisi Rasulullah, hingga beliau menyebutnya sebagai keluarga. Saya datang mewakilinya untuk melamar putri Anda”.
Sang ayah begitu bahagia mendengar hal itu.”Kehormatan bagi kami menerima anda, sahabat Rasulullah. Kehormatan bagi kami bermenantukan seorang sahabat Rasulullah yang utama. Akan tetpi jawaban sepenuhnya di tangan putri kami”.
“Maafkan kami atas keterusterangan ini, tetapi karena Anda berdua yang datang. Maka dengan mengharap ridha Allah, bahwa putrid kami menolak lamaran Salman Al-Farisy. Namun jika Abu Darda’ memiliki niat yang sama maka kami mengiyakan” Sang ibu mewakili putrinya.
Bukankah ini adalah kisah tentang ketulusan? Seorang sahabat yang telah terbalut oleh kerinduan yang lebih tinggi, lebih mulia. Maka dengarlah tutur Salman dari lisannya yang mulia, “ Allahu Akbar, semua mahar dan nafkah yang telah kupersiapkan akan kuserahkan kepada Abu Darda’, dan sayalah yang akan menjadi saksi pernikahan kalian”.
Ini bukan tentang pecundang dalam memperjuangkan perasaannya, bukan sama sekali. Tapi ini adalah kisah pencinta sejati yang paham betul hakikat cinta itu. Bahwa di dunia ini di tempat kita bersama berpijak tidak ada yang kita miliki maka siap-siaplah menjadi saksi ketidakbermilikan itu. Memang sedih, namun sekaligus cerdas. Dia sadar betul bahwa dia belum punya hak untuk itu, hak untuk memiliki orang yang dicintainya. Karena sekali lagi, cinta tak harus memiliki.
“kita tak perlu kecewa atau terhina dengan penolakan, atau lemah atau melankolik saat kasih kandas karena takdirNya, sebab di sini kita justru sedang melakukan sebuah “pekerjaan jiwa” yang besar dan agung: MENCINTAI”. Nasihat Anis Matta kepada kita semua.
Demikianlah saudaraku. Kita baru saja membicarakan orang lain. Tapi tanyakan pada dirimu jiwaku. Pesan untuk siapapun di persimpangan jalan, antara mengikuti kehendak Sang Khaliq atau kehendak makhluk yang lemah. Untuk kita semua.
0 komentar:
Posting Komentar