Konstruksi tatanan sosial tentang gender menjadikan kaum wanita banyak yang memilih berkiprah pada sektor publik. Ide ini setidaknya menjadi pembuka kran kebebasan sekaligus peluang bagi wanita dalam mengaktulisasikan dirinya untuk bisa meraih sukses di berbagai lini kehidupan. Hasilnya kita bisa lihat sendiri, banyaknya kaum hawa yang menduduki peran strategis dalam suatu struktur sosial.Ide yang digaungkan oleh aktivis feminis ini muncul sebagai interupsi dan perlawanan atas dominasi kultur patriarkal (role of the father) yang dianggap menempatkan posisi laki-laki sebagai kalangan superior dan memarginalkan posisi wanita.
Ide dasar pemikiran ini adalah konsep kesetaraan gender (gender equality), bahwa secara gender, laki-laki dan wanita sama. Menurut mereka, sekalipun secara biologis laki-laki dan wanita berbeda, perbedaan tersebut tidak boleh berimplikasi pada perbedaan gender, karena konsep pembagian peran sosial yang dikaitkan dengan perbedaan biologis akan memunculkan ketidakadilan sistemik atas kaum wanita. Termasuk peran seorang ibu yang mereka pandang tidak strategis dan tidak berorientasi materi.
Padahal wanita dan laki-laki dilihat dari jenisnya dengan kekhasan masing-masing, memang mengharuskan keduanya diberi peran yang berbeda pula. Justru persamaan pada hal ini akan menambah rancuh relasi dan pembagian peran di antara laki-laki dan wanita serta runtuhnya struktur keluarga.
Adapun aturan dan peran yang Allah tetapkan adakalanya sama dan adakalanya berbeda. Terkait dengan kedudukan laki-laki dan wanita sebagai manusia, Islam membebankan kewajiban yang sama kepada laki-laki maupun wanita dalam menjalankan ibadah seperti shalat, puasa, haji, dan zakat. Akan tetapi dilihat dari sisi fitrahnya bahwa laki-laki adalah laki –laki dan wanita adalah wanita maka terdapat hukum yang berbeda seperti aurat wanita, hukum tentang kehamilan, hukum tentang persusuan, wanita sebagai ibu, dan sebagainya. Semuanya dibebankan pada wanita bukan pada laki-laki. Sedangkan kepemimpinan keluarga, nafkah, jihad, batas aurat laki-laki, dan seterusnya, kewajiban-kewajiban ini dibebankan pada laki-laki tidak pada wanita.
Perbedaan seperti ini tentu tidak bisa dipandang sebagai sebuah ketidakadilan, karena semua ini adalah fitrah yang ditetapkan oleh Allah sebagai Pencipta manusia untuk saling melengkapi dan bekerjasama, bukan untuk kemaslahatan laki-laki saja atau wanita saja. Apalagi kemuliaan dalam Islam tidak diukur dari jenis kelamin ataupun kedudukan sosial seseorang, melainkan diukur oleh derajat ketakwaannya kepada Allah.
Jika di negara kita kaum feminis begitu antusias mengusung gerakan kesetaraan gender , di negara Barat sebagai sumber ide ini justru belakangan mulai tersadar akan dampak negatif yang ditimbulkannya. Semakin meningkatnya pasrtisipasi wanita di dunia kerja maskulin, menuai banyak kritikan dari pemikir-pemikir Barat sendiri.
Sylvia Hewlett dalam bukunya A Lesser Life: The Myth of Womens Liberation America misalnya, mengemukakan kondisi wanita yang menyedihkan karena adanya gerakan feminisme. Lalu Danielle Crittenden dalam bukunya What Our Mothers Didn’t Tell Us: Why Happiness Eludes The Modern Women , yang menggambarkan kecemasan tersembunyi yang dialami kaum wanita Amerika di balik berbagai sukses yang diraih dan kenyamanan yang diperoleh melalui propaganda kebebasan wanita. Buku ini merupakan hasil penelitian penulisnya selama sepuluh tahun tentang fakta kehidupan wanita modern Amerika, yang ternyata tidak pernah bisa meraih kebahagiaan hakiki, tidak pernah bisa meraih kebahagiaan yang utuh setelah mereka meneguk kebebasan tanpa batas, yang ternyata hasilnya jauh dari harapan mereka. Karena itulah, mengapa Danielle justru menyerukan agar kaum wanita kembali merangkul fitrah kewanitaan mereka, sekaligus berusaha menghargai kebutuhan manusiawi mereka. Hal ini diamini oleh Miles Markjanli, juga merupakan penulis Amerika yang menyuarakan agar kaum wanita kembali ke rumah. Aku selalu berupaya meyakinkan para perempuan bahwa mereka lebih berhak untuk berlaku sebagai pendidik di rumah , tulisnya. Sayangnya, semangat penolakan terhadap gagasan ini kalah gencar dibandingkan dengan para pengusungnya.
Peran Wanita Sebagai ‘Arsitek’ Masa Depan Negeri
Dewasa ini, dunia tertegun menyaksikan krisisi moral yang merusak sendi-sendi kehidupan. Penyakit-penyakit sosial tumbuh subur seakan ia tidak bisa dipisahkan dari kehidupan kita. Setiap waktu yang kita lalui, setiap itu pula kita melihat berbagai tragedi yang memilukan . Media massa tidak pernah sepi dari berita-berita tindak amoral. Di salah satu penjuru negeri terdengar rintihan para pemuda atas apa yang dituainya dari narkotika, di penjuru yang lainnya kita mendengar para pemudi yang menjadi barang eksploitasi.
Wajah buram masyarakat seperti ini terjadi, salah satunya karena mereka tidak lagi merasakan kasih sayang dan tarbiyah dari seorang ibu, perkembangannya tidak dikawal oleh orang tua kandung melainkan oleh baby sister. Sejak kecil air ASI yang harusnya ia dapat dari seorang ibu justru tergantikan oleh susu pabrik.
Islam sendiri tidaklah melarang wanita secara mutlak untuk beraktivitas selama tidak berada di luar garis syari’at dan tidak bertentangan dengan kodrat kewanitaannya. Namun tentu saja ketika peran ganda menjadi pilihan, maka sebagai manager rumah tangga adalah prioritas utama bagi seorang wanita dibanding kesibukan-kesibukan lainnya.Tinggi dan mulianya peran seorang ibu tidak akan bisa ditukar dengan pekerjaan-pekerjaan lain yang mubah. Produktifitas seorang wanita tidak selamanya berkaitan dengan hal-hal yang bersifat materi, namun juga termasuk hal-hal yang bersifat spiritual.
Menjadi Ibu adalah fitrah seorang wanita sekaligus adalah sebuah pilihan. Karena tidak semua wanita memilih untuk mengemban amanah mulia ini. Amanah yang di tangannyalah diletakkan tanggung jawab memberikan pembinaan awal kepada anak-anaknya sebelum sang anak kelak menyusuri seabrek dinamika hidup.
Penghargaan yang diberikan Islam kepada seorang ibu sangatlah tinggi. Abu Hurairah meriwayatkan, telah datang seseorang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan bertanya: “Siapakah di antara manusia yang paling berhak mendapatkan perlakuan baikku?” Jawab Nabi: “Ibumu”. “Kemudian siapa lagi?” Nabi menjawab: ”Ibumu”. Dia bertanya lagi, “Kemudian siapa?” Kata Nabi: “Ibumu”. “Lalu siapa?” “Ayahmu”. (HR. Bukhari Muslim).
Begitulah, ibu berjasa besar dalam mengantarkan anak-anaknya menjadi sosok berguna untuk sejarahnya. Ibulah tokoh utama dibalik kesuksesan seorang anak. Di belakang tokoh yang besar pasti ada wanita agung, di belakang orang-orang yang mulia pasti ada wanita yang mulia Sungguh sangat picik bila peran seorang Ibu dipandang sebelah mata.
Baginya, bukan hanya sekedar melahirkan keturunan. Lebih dari itu, ibu adalah peletak dasar lahirnya generasi sebagai pewaris untuk menghiasi peradabannya. Di pundak Ibulah para pemimpin masa depan muncul yang memberikan perbaikan terhadap masyarakat.
Dari tangan ibulah terbentuk keberlangsungan generasi mendatang. Anak-anak yang menentukan kokohnya suatu negeri. Generasi harapan seperti ini tentu membutuhkan pembinaan dan perhatian yang tidak hanya memperhatikan keterpenuhan fisik, tetapi juga kuantitas waktu dari seorang ibu. Benarlah apa yang dikatakan di dalam syair Arab, ”Al-Ummu madrasatun idza a’dadtaha ‘adadta sya’ban thayyibul ‘araq” Seorang ibu adalah sebuah sekolah, jika engkau persiapkan dia dengan baik maka sungguh engkau telah mempersiapkan sebuah generasi yang unggul.
Lalu apa jadinya bila sang ibu lebih senang merawat karirnya ketimbang menunaikan tanggung jawab asasinya untuk merawat dan mendidik anak-anaknya ? Wallahul Musta’an.
Marzuki Umar
STIBA Makassar, 10 April 2010
0 komentar:
Posting Komentar