Sabtu, Juli 11, 2009

Tangis Itu....

Subuh yang sejuk. Embun masih menempel di ranting dedaunan. Alam begitu damai. Adzan Subuh baru saja dikumandangkan. Terlihat bayangan-bayangan para Sahabat nabi berjalan bergegas menuju masjid. Mereka menembus gelap malam yang masih tersisa. Ketika iqamah dikumandangkan, para sahabat pun dengan sigap berdiri membentuk shaf yang rapat dan lurus. Subuh itupun mereka kembali menunaikan shalat subuh berjama’ah. Dan dalam barisan yang rapat itulah dipimpin oleh seorang Umar, dia menjadi imam Shalat subuh ketika itu. Setelah shalat beliau mencari-cari Muadz, maka Muadz berkata “ini saya Ya Amiral Mu’minin.”


Maka Umar dengan jujurnya berucap, “semalam saya memikirkanmu dan saya gelisah di tempat tidurku karena cinta dan rindu padamu”, kemudian mata keduanya sembab, air matanya perlahan jatuh menetes membasahi pipinya, bahkan kini mereka larut dalam tangisan itu, berpelukan dan menangis lagi.

Bahagia. Sangat bahagia bahkan. Itulah kata-kata yang dapat menggambarkan perjumpaan yang berkitar di pusaran iman itu. Mereka sungguh menyadari cinta di antara mereka.

Duhai, betapa mempesonanya, membuat hati tertawan dalam kilasan bayangan-bayangan indah cinta mereka.

Kisah ini adalah untuk zaman ini dan zaman mendatang. Atau zaman manapun dimana anak manusia kehilangan arti sebuah persaudaraan karena-Nya, hingga tersaruk-saruk langkahnya di jalan pulang ke negeri akhirat. Tidak, bukan hanya anak-anak itu yang kehilangan cinta itu. Zaman inilah yang kehilangan. Duhai apa jadinya dunia ini jika setiap hari satu persatu tidak lagi merasakan ukhuwah itu..Seorang saudara dengan segenap cinta dan kelembutannya.

Karenanya sisakan sedikit jenak yang kita isi dengan ritual ukhuwah hingga hati itu berpendar cahaya yang sampai di kedalaman relungnya.. kalau perlu menangislah.

Ini hanya sedikit…sangat sedikit tentang ukhuwah mereka yang berbuah surga. Semakin jauh zaman ini bergerak, semakin rindu pula hati dan jiwa ini untuk melihat sosok-sosok itu. Kita rindu, namun kerinduan itu tak pernah terpuaskan dahaganya…karena kita tak kunjung menemukannya. Mungkin ia ada dalam diri kita? Entahlah…tapi semoga saja.

Umar dan mu’adz, kami sungguh menanti “kehadiranmu” di zaman ini, dan di setiap zaman…

Terakhir,,,untuk saudaraku yang akan mengayuh biduk. Selamat menunggu masa berbahagia itu, do’a ini takkan jenuh mengetuk pintu langit untuk kebahagiaan kalian.

Saya mencintaimu fillah..
-ukHi-

1 komentar:

Qurrata~A'yun mengatakan...

Sungguh...kecintaan pada sahabat adalah tetesan embun di pagi hari yang terlewati dengan malam kerontang. Tangis untuknya adalah keniscayaan yang berbuah rindu...andai layak memohon...pengekalan cinta atasnya...

Posting Komentar

Photobucket Photobucket Photobucket
marzukiumar.com © 2007 supported by www.iu.edu.sa allright reserved