Senin, Februari 01, 2010

Aku, buku, dan Puisiku

Ada saja pertanyaan-pertanyaan iseng dari ikhwah yang berziarah ke kamarku. " Akhi, kok antum suka puisi?", "Apa sih itu puisi?", "Apa sih enaknya nulis puisi?", dan sederet pertanyaan serupa yang sudah sering, bahkan terlalu sering saya dengar.
Maklum memang, kalau di rak-rak bagian atas lemari akan nampak jelas literature-literatur arab, sebut saja bidayatul mujtahidnya Ibnu Rusyd, Mabahits fie Ulumil Qur'annya Manna Khalili Qathan, dll. Tetapi bukan ini yang membuat mereka heran, toh sudah lazim seorang mahasantri mengoleksi kitab semacam ini. Namun ketika pandangan diarahkan ke rak bagian bawah dari sinilah tanya itu muncul. Buku-buku karya chairil Anwar, Amir hamzah, supardi Djoko Damono, Rendra , Goenawan Muhammad, Abdul Hadi, dsb (Kayaknya nda usah saya sebut satu per satu…hehehe), terasa begitu asing di kalangan teman-temanku untuk tidak dikatakan seluruhnya.



Kalau kembali mengingat kebelakang awal mengenal puisi, Hmm.. sejak di bangku SD. Bukannya suka tapi 'benci'. Bisa saja menggunakan bahasa yang verbal dan mudah dipahami kok pake bertele-tele, pikirku. Terus seperti itu, sampai guru bahasa Indonesia memberikan tugas menulis puisi, bingung jadinya. Yang penting ada, mulailah saya menulis,Walhamdulillah selesai juga. " Ki, sini",pak guru memanggil, tapi kok namaku?, perasaan puisiku nda ada papanya?
" Ganti puisimu, disuruh tulis puisi malah mengutip lagu
". Duh, malunya diketawai teman-teman, rupa-rupanya pak guru tahu kalo itu salah lagu yang saya kutip, mau diapalagi asalnya memang nda tahu n nda suka.

Ketertarikan belum ada, apalagi setelah kejadian tadi semakin tidak berminat. Ceritanya jadi lain ketika saya membaca dua puisi chairil Anwar: Derai-Derai Cemara, dan Senja di Pelabuhan Kecil. Dari kedua puisi inilah berangkat' ketertarikan' itu. Begitu dalam, begitu menyentuh. Mulai bertambah hobi baru, membaca karya-karya satra di perpustakaan. Kalau teman lebih senang kumpul cerita music, cerita 'anaknya orang', lebih baik menulis sesuka saya, toh saya bebas menentukan apa yang akan saya tulis.

Puisi, lagi-lagi tidak bisa lepas dari anak sekolah. Ketika sudah pake seragam putih abu-abu pun masih ada saja cerita tentang puisi. Puisiku, kalau tidak salah ingat judulnya "Rasulullah" terpilih menjadi puisi terbaik pada saat lomba cipta puisi di sekolah. Hehehe, kok kesannya tidak enak sekali, ikhwan menang nulis puisi. Masa bodoh yang penting saya menikmatinya.

Tidak bisa terelakkan lagi, sampai juga cerita tentangku dan puisi ke telinga murabbiku. Hari itu usai tarbiyah, murabbi ngajak ngobrol berdua. Awalnya tidak begitu mengherankan, namun setelah minta diajari nulis puisi untuk istrinya, saya jadi tidak bisa menahan senyumku.. hehehe, Wallahu musta'an.

Pujangga? Tidak. Ummat lebih butuh seorang pembimbing dari sekedar pujangga, ada begitu banyak yang bisa digoreskan untuk mencerahkan umat dari sekedar puisi. Masih pantaskah berpuisi dengan darah ummat yang terus saja bersimbah. Tidak salah memang, namun ketika engkau mampu memberi senjata kenapa hanya menghadiahkan batu kerikil untuk dipakenya melempar?
Kini lebih menekuni tulisan kajian pemikiran islam, walau puisi masih terkadang saja menjadi ' segelas kopi' bagiku, di saat yang lain memilih minum air garam.

-Uki-


1 komentar:

rh mengatakan...

Keep your potention and keep tawadhu'.Thanks for usefull conversation several years ago, so that my mind has been opened to think about the right way.La'allallahu sahhalalakum fii amrikum.

Posting Komentar

Photobucket Photobucket Photobucket
marzukiumar.com © 2007 supported by www.iu.edu.sa allright reserved