Dinamisasi masalah keummatan semakin melebar bersama bergulirnya waktu, terus mengalami perkembangan. Sunnatullah ini telah menyentuh berbagai aspek kehidupan manusia termasuk pola pandang terhadap suatu hal .
Dunia fiqh terus mengawal perubahan itu melalui apa yang kita kenal sebagai fiqh kontemporer (fiqhul waqi'). Betapa banyak status sesuatu berubah mengikuti perubahan masyarakat memandangnya, salah satunya harta intelektual.
Dahulu ijtihad (hasil intelektual ulama) tidak pernah bernilai ekonomis, akan tetapi sekarang masyarakat telah memandang ide sebagai sesuatu yang memiliki nilai jual tinggi, mulailah digulirkan hak intelektual. Ternyata, masyarakat ilmu Islam tidak serta merta sepaham dan sepandangan pada masalah yang satu ini.
DASAR BAGI PIHAK YANG MENAFIKKAN HAK INTELEKTUAL DALAM SYARI'AT ISLAM
Gagasan hak intelektual dan perlindungan atasnya ditengarai berasal dari ideologi Kapitalisme. Karena pihak yang paling mati-matian mengusung ke permukaan isu ini adalah Negara-negara barat. Hal ini bermula di Venice, Italia tahun 1470 ketika mereka mengeluarkan UU HaKI pertama yang melindungi Paten. Peneliti semacam Caxton, Galileo dan Guttenberg menikmati undang-undang ini dan memperoleh hak monopoli atas penemuan mereka. Hukum Paten dari Venice kemudian diadopsi oleh kerajaan Inggris pada tahun 1623 (Statute of Monopolies). Di ikuti oleh Amerika Serikat pada tahun 1791. Kemudian lahirlah konvensi untuk semakin menguatkan akar perundang-undangan ini
1. Paris Convention (1883) untuk masalah paten, merek dagang dan desain
2. Berne Convention (1886) untuk masalah copyright atau hak cipta
Hasil dari konvensi ini menelurkan United International Bureau for the Protection of Intellectual Property yang kemudian dikenal dengan nama World Intellectual Property Organization (WIPO). Setelah itu WIPO menjadi badan administratif khusus PBB, dan WIPO menetapkan 26 April sebagai Hari Hak Kekayaan Intelektual Sedunia di tahun 2001. Lahir persetujuan umum tentang tarif dan perdagangan (GATT) di Maroko (15 April 1994). Dan Indonesia ikut menyepakati tersebut dengan mengeluarkan UU No 7 tahun 1994 tentang Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Undang-undang ini memberikan hak kepada individu untuk melindungi hasil ciptaannya, dengan kata lain melarang untuk memanfaatkan ciptaan tersebut kecuali dengan izinnya, dan sanksi kepada setiap orang yang melanggarnya. Undang-undang ini dalam skop yang lebih lebar memberikan perlindunga perlindungan bagi perusahaan-perusahaan pemegang hak paten. Jadi, kalau ada perusahaan ingin memperdagangkan termasuk mengekspor ke luar negeri, maka perusahaan ini harus meminta izin dan mengganti kompensasi terhadap perusahaan yang telah memiliki hak paten t dengan membayar sejumlah uang sebagai royalti. Jika tidak, maka akan dijatuhi sanksi yang sangat berat sebagai pembajak intelektual.
Dari situ, negara kapitalis menganggap bahwa individu itu sebagai ‘harta’ yang boleh dimiliki. Siapa pun tidak boleh mengajarkan atau mempelajari pengetahuan tersebut, kecuali atas izin 'empu'nya ide. Jika seseorang membeli buku yang mengandung ide baru, maka ia berhak memanfaatkan sebatas apa yang dibelinya saja, dalam batasan tertentu, membaca. Dia dilarang untuk pemanfaatan yang lain, seperti menyalin.
Dalam sejarah ulama-ulama salaf, sering kali kita menemukan mereka yang pekerjaannya menyalin ulang suatu kitab. Dalam kitab Siyar A'alam An Nubala' bahwa Malik bin Dinar –rahimahullah-, beliau dikenal sebagai penulis (penyalin) yang terkenal. Lebih dari itu, Imam Ahmad bin Hambal pernah membeli baju dengan uang yang ia peroleh dari menyalin.
Ummat dapat menggunakan karya tesebut tanpa perlu memberi imbalan apapun selain doa kepada orang yang berhasil menemukan gagasan tersebut. Malah, pihak yang mendapatkan keuntungan materi adalah al-warraq (juru tulis) bukannya sang pemilik ide.
Islam telah memberikan hak kepada individu atas apa yang dimilikinya, yang memungkinkan ia dapat memanfaatkannya sesuai dengan syari'at. Mengenai hak kepemilikan individu atas “ide baru”, terbagi dalam dua jenis. Pertama, sesuatu yang berwujud, seperti barang yang terab. Kedua, sesuatu tidak teraba, seperti pandangan ilmiah. Jika kepemilikan tersebut berupa kepemilikan jenis pertama, maka seorang individu boleh memilikinya, dan diberikan perlindungan kepadanya agar tidak sampai orang lain melanggar hak-haknya.
Adapun kepemilikan fikriyah, yaitu jenis kepemilikan kedua, seperti pandangan ilmiah yang belum ditulis maka itu adalah hak pemiliknya. Ia boleh menjual atau mengajarkannya kepada orang lain. Dan bila ia sudah menjual atau mengajarkannya kepada orang lain, maka orang yang mendapatkannya boleh mengelolanya tanpa terikat dengan pemilik pertama. Dalilnya adalah hadits dari 'Aisyah- radhiyallahu 'anha-:
أَنَّ بَرِيْرَةَ أَتَتْهاَ وَهِيَ مُكاَتَبَةٌ قَدْ كاَتَبَهاَ أَهْلُهاَ عَلىَ تِسْعِ أَوَاقٍ، فَقاَلَتْ لَهَا: إِنْشاَءَ أَهْلُكِ عَدَدْتُهاَ لَهُمْ عَدَّةً وَاحِدَةً وَكاَنَ اْلوَلاءُ لِي. فَأَتَتْ أَهْلَهَا، فَذَكَرَتْ
ذَلِكَ لَهُمْ، وَأَبَوْا إِلاَّ أَنْ يَشْتَرِطُوْا الْوَلاء لَهُمْ، فَذَكَرَتْهُ عاَئِشَةُ لِلنَّبِيِّ صَلىَّ الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقاَلَ: افْعَلِيْ، فَفَعَلَتْ. فَقاَمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَخَطَبَ النَّاسَ، فَحَمِدَ اللهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ، قَالَ: مَا بَالُ رِجاَلٍ يَشْتَرِطُوْنَ شُرُوْطاً لَيْسَتْ فِيْ كِبَابِ اللهِ، قَالَ: فَكُلُّ شُرْطٍ لَيْسَ فِيْ كِتَابِ اللهِ فَهُوْ باَطِلٌ، كِتاَبُ اللهِ أَحَقُّ وَشَرْطُهُ أَوْثَقُ، وَاْلوَلاء لِمَنْ أَعْتَقُ
"Barirah mendatangi seorang perempuan, yaitu seorang mukatab yang akan dibebaskan oleh tuannya jika membayar 9 uqiyah. Kemudian Barirah berkata kepadanya, ‘Jika tuanmu bersedia, aku akan membayar untuk mereka jumlahnya, maka loyalitas [mu] akan menjadi milikku’. Mukatab tersebut lalu mendatangi tuannya, dan menceritakan hal itu kepada mereka. Kemudian mereka menolak dan mensyaratkan agar loyalitas [budak tersebut] tetap menjadi milik mereka. Hal itu kemudian diceritakan ‘Aisyah kepada Nabi saw. Rasulullah saw bersabda: ‘Lakukanlah’. Kemudian Barirah melaksanakan perintah tersebut dan Rasulullah saw berdiri, lalu berkhutbah di hadapan orang-orang. Beliau segera memuji Allah dan menyanjung nama-Nya. Selanjutnya, beliau bersabda, ‘Tidak akan dipedulikan seseorang yang mensyaratkan suatu syarat yang tidak sesuai dengan apa yang tercantum dalam Kitabullah’. Kemudian, beliau bersabda lagi, ‘Setiap syarat yang tidak ada dalam Kitabullah, maka syarat tersebut adalah bathil. Kitabullah lebih berhak, dan syaratnya (yang tercantum dalam Kitabullah) bersifat mengikat. Loyalitas dimiliki oleh orang yang membebaskan’.
Mafhum hadits ini mengisyaratkan bahwa syarat yang bertentangan dengan apa yang disyariatkan tidak boleh diikuti. Sedangkan syarat perlindungan hak cipta menjadikan barang yang didapat (jual beli buku misalnya) terbatas pada suatu pemanfaatan tertentu saja, tidak untuk pemanfaatan yang lain, maka syarat tersebut adalah batal dan bertentangan dengan syari'at. Karena, keberadaannya bertentangan dengan ketetapan akad jual-beli syar‘î yang memungkinkan pembeli dapat mengelola dan memanfaatkan barang dengan cara apa pun Syarat yang mengharamkan sesuatu padahal halal adalah syarat yang bathil berdasarkan sabda Rasulullah saw:
«…وَالْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ إِلاَّ شَرْطاً حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا»
Orang-orang Islam terikat dengan syarat-syarat mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram.
Dari sini kemudian pihak yang berada pada pendapat ini tidak mengenal adanya hak cetak, menyalin, atau proteksi di dalam Islam bahkan ia merupakan bentuk penjajahan baru pihak kapitalis. Setiap individu berhak atas apa yang telah didapatkannya ( dari membaca dll.). Penemu berhak memiliki pengetahuannya selama belum diajarkan kepada orang lain. Akan tetapi, setelah mereka memberikan ilmunya kepada orang lain dengan cara mengajarkan, menjualnya, atau dengan cara lain, maka ilmunya tidak lagi menjadi miliknya lagi. Dalam hal ini, kepemilikinnya telah hilang sehingga mereka tidak memiliki wewenang melarang orang lain untuk mengambil manfaatnya.
Wallahu a'lam (Bersambung)
STIBA , 010210
0 komentar:
Posting Komentar