Keluhuran misi. Mungkin hanya itu yang ada pada perjalanan kisah tentang orang-orang besar dan cinta yang mereka punya. Romantika memang ada pada alurnya yang mengharukan. Namun tetap itu semua tidak menghalanginya untuk menyadari bahwa cinta adalah misi. Jiwa yang melankolis tidak lain adalah setitik unsur yang tidak terlalu memiliki tempat dalam kancah perjuangannya. Seperti ketika sesekali hujan menghadirkan pelangi. Indah. Namun kehadirannya tidak selalu.
Bahkan bisa jadi romantika yang tidak terbingkai itu adalah masa yang paling getir baginya. Ketika jatah cinta harus lebih tinggi atau minimal sepadan pada apa yang semestinya dipersembahkan untuk Rabb. Di sinilah pertarungan jiwa itu. Saat dimana fluktuatif cinta harus memutuskan pilihan yang keliru, Terlampau melankolis!
Sebab ketika Allah sudah menjadi yang ke sekian, secara tidak langsung ia telah mangatakan bahwa ia telah menghamba kepada yang lainnya. Dan dengan begitu kecenderungan hati tidak lagi terarahkan oleh aqidah. Dengan kata lain cinta yang tak bermisi. Ini adalah musibah batin yang sangat besar. Ketika kenikmatan fisik telah dimenangkan atas keyakinan, menjadi ciri dari hilangnya hati. Dan inilah yang pernah dikhawatirkan oleh Abu Bakr atas anaknya. Ikatan perasaan Abdurrahman bin Abi Bakr dengan Atikah binti Amr. Abu Bakr merisaukan perasaan anaknya terhadap istrinya terlampau kuat dan berlebihan menembus garis-garis ibadah dan perjuangannya di jalan Allah.
Cerai, itu solusi yang dipilihkan Abu Bakr untuk sang anak. Abdurrahman tentu saja amat berat untuk melakukannya, tapi karena terus terdesak pada akhirnya terjadi juga.
Namun rindu tetaplah rindu. Perpisahan tidaklah mampu mematikan rasa yang dimilikinya. Ketinggian akhlak Atikah membuat perasaannya mencekam pada rindu yang tak rumpang sedikitpun. Iapun mengadu pada Allah dengan bersyair.
Demi Allah tidaklah aku melupakanmu
Walau matahari kan terbit meninggi
Dan tidaklah terurai air mata merpati
Kecuali karena berbagi hati
Tidak pernah kudapati orang sepertiku
meninggalkan orang seperti dia,
Dan tidaklah orang seperti dia
ditinggalkan karena dosanya
Dia berakhlak mulia, beragama,
bernabikan Muhammad
Berbudi pekerti, pemalu dan halus tuturkatanya
Perpisahan justru semakin menguatkan perasaannya oleh rindu yang disirami air mata. Melihat rintihan anaknya, Abu Bakr tak tega. “Duhai anakku, rujuklah engkau padanya kalau engkau memang tidak mampu untuk melupakannya.”
Berikutnya, cinta tidak menghalangi Atikah untuk melepas labuhan hatinya pergi berjihad hingga Abdurrahman mencapai syahidnya di perang Thoif. Sedih tentu saja, tapi cinta itu tidak menjadi tembok yang mengurungnya dalam piciknya yang harusnya ditata pada struktur yang apik, pada deretan-deretan cinta yang indah.
Di sinilah tempat dan peran romantika yang proporsi, yang tidak lain bagian dari pintu sebuah misi. Pada titik kesadaran bahwa perjuangan membutuhkan pengorbanan, karena cinta pada dasarnya adalah kata lain dari ‘memberi’. Di jalan inilah Rasulullah memilih pasangan hidup. Di jalan dakwah dan perjuangan.
Maka tidak heran, ketika Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam merasakan beratnya menerima wahyu yang pertama, Beliau pergi ke naungan istrinya seraya berkata “Zammiluniy, zammiluniy. Selimuti aku selimuti aku”. Maka perbincangan manusia sepanjang sejarah tentang cinta tak kan mampu menandingi kisah para pengusung dakwah, karena ia bermisi di balik kesederhanaannya. Menjelma menjadi gagasan yang luhur!
12 sya’ban 1431 H
Marzuki Umar
0 komentar:
Posting Komentar