Jumat, September 07, 2012

Saat Berpisah, Saat Bersabar...


Hidup adalah berjalan di antara pilihan-pilihan.  Dalam petualangan kita di dunia nan sementara ini, Allah sering menjumpakan kita pada dua jalan untuk kita pilih salah satunya. Pada saat seperti ini Iman itu kadang datang berbisik, menggelisahkan sekaligus menunjukkan ketenangan.
Inilah yang pernah dirasakan oleh seorang lelaki, tidak lama setelah ia mengambil keputusan untuk mengakhiri masa lajangnya. Jiwanya merasa terpanggil untuk kembali mengambil keputusan yang tidak kalah berat dari sebelumnya.


Tekadnya untuk pergi, serta panggilan suci jiwanya tidak bisa dibendung lagi. Keputusan berat itupun diambilnya, meninggalkan sang istri yang baru dinikahinya menuju ke Madinah untuk  menuntut ilmu di kota Rasulullah tersebut. Istrinya yang saat itu sedang hamil, mendengarkan langsung penuturannya “Aku telah berketetapan hati untuk melakukan perjalanan guna menuntut ilmu dan aku tidak melihat akan kembali ke negeri ini kecuali setelah berlalu masa yang panjang. Bila engkau ingin, aku akan melepaskan ikatan kita baik-baik. Namun bila engkau tetap ingin bersabar menjadi istriku, aku pun akan melakukannya akan tetapi sungguh aku tak tahu kapan aku dapat kembali kepadamu.”
Sang istri memilih untuk tetap menjadi istrinya, memilih kesabaran sebagai tempatnya berpijak karena ia sadar perpisahan apalagi dalam waktu yang lama tentu sangat pahit.

Berangkatlah sang suami menempuh perjalanan panjang dan tinggal di Madinah. Ia menikmati nikmatnya ilmu mengalir, ia tidak tersibukkan dengan sesuatu apapun tapi semata-mata perhatiannya ditujukan untuk ilmu. Dalam masa penantian sang istri, ia telah melahirkan seorang anak laki-laki dan  telah tumbuh besar. Namun sang suami tidak mengetahui berita kelahiran putranya ini, karena waktu terus bergulir, dan komunikasi dengan istrinya telah terputus sejak tujuh belas tahun!

Biarkanlah Ia menceritakan kisahnya sendiri, “Ketika suatu hari aku sedang berada di sisi Imam Malik dalam majelis Beliau, tiba-tiba datang kepada kami seorang pemuda dalam keadaan menutup wajahnya. Ia mengucapkan salam kepada Imam Malik. Kemudian pemuda tersebut bertanya, “Apakah di antara kalian ada yang bernama Abdurrahman al-Utaqi?”
Orang-orang yang hadir saat itupun menunjukkan lelaki yang ditanyakan si pemuda. Pemuda itu mendatangiku, merangkulku, dan mengecup keningku. Aku memiliki firasat bahwa ia adalah anakku. Ternyata betul,  ia memang anakku yang dulunya aku tinggalkan ketika ia masih dalam kandungan istriku. Sekarang ia telah besar dan menjadi seorang pemuda.”

Kesabaran yang luar biasa dari sang istri sungguh mencengangkan setiap kita. Dalam keadaan mengandung ditinggal oleh sang suami, hingga ia melahirkan dan membesarkan anaknya sendiri, sampai sang anak tumbuh besar dan menyusul sang ayah ke kota madinah untuk sama-sama menuntut ilmu di sisi alim besar di masanya, imam Darul Hijrah, Imam Malik –rahmatullahi 'alaih-.

Dan kelak Abdurrahman al-Utaqi ini menjadi murid kenamaan Imam Malik dan menjadi Mufti Negri Mesir pada masanya. Perkataan-perkataannya menjadi perkataan yang paling didengar dalam madzhab Malikiyah. Dahulu ketika ulama ingin mengetahui pandangan Imam Malik terhadap suatu permasalahan, maka mereka akan datang ke alim ini, Abdurrahman al-Utaqi.

Dan kita tahu, kemuliaan itu tidak datang dengan tiba-tiba begitu saja, Beliau-rahimahullah- menebus semua itu dengan pengorbanan yang tidak mudah, bahkan mungkin bagi sebagian kita aneh dan terkesan berlebih-lebihan. Tetapi begitulah ulama Salaf mengajarkan kepada kita 'nafsu' terhadap ilmu. Tidak mudah memang, sebanding dengan apa yang pernah Rasulullah –shollallohu ;alaihi wasallam-kabarkan tentang mereka, 

“Siapa yang menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan menuntun jalannya menuju syurga. Sesungguhnya Malaikat meletakkan sayap-sayapnya sebagai keridhaan kepada orang yang menuntut ilmu. Dan sesungguhnya orang alim akan dimohonkan ampun oleh siapa yang ada di langit dan di bumi dan ikan-ikan yang ada di dasar air. Sesungguhnya keutamaan orang berilmu dari ahli ibadah seperti keutamaan bulan di malam purnama dari seluruh bintang-bintang, para ulama adalah pewaris para Nabi, dan para Nabi tidak mewariskan dinar ataupun dirham, tetapi mewariskan ilmu, maka barangsiapa yang mengambilnya, sungguh dia telah mengambil bagian yang banyak." (H.R. Abu Daud dan At-Tirmizi)

Madinah, 18 Dzulqo'dah 1432 H

1 komentar:

Ardi mengatakan...

Raihlah ilmu di jalan Allah.. Maka Ia akan menjaga semua yang engkau tinggalkan di tanah air... Percayalah.. :)

Posting Komentar

Photobucket Photobucket Photobucket
marzukiumar.com © 2007 supported by www.iu.edu.sa allright reserved