Hidup adalah
berjalan di antara pilihan-pilihan.
Dalam petualangan kita di dunia nan sementara ini, Allah sering
menjumpakan kita pada dua jalan untuk kita pilih salah satunya. Pada saat
seperti ini Iman itu kadang datang berbisik, menggelisahkan sekaligus
menunjukkan ketenangan.
Inilah yang pernah
dirasakan oleh seorang lelaki, tidak lama setelah ia mengambil keputusan untuk
mengakhiri masa lajangnya. Jiwanya merasa terpanggil untuk kembali mengambil
keputusan yang tidak kalah berat dari sebelumnya.
Tekadnya untuk
pergi, serta panggilan suci jiwanya tidak bisa dibendung lagi. Keputusan berat
itupun diambilnya, meninggalkan sang istri yang baru dinikahinya menuju ke
Madinah untuk menuntut ilmu di kota
Rasulullah tersebut. Istrinya yang saat itu sedang hamil, mendengarkan langsung
penuturannya “Aku telah berketetapan hati untuk melakukan perjalanan guna
menuntut ilmu dan aku tidak melihat akan kembali ke negeri ini kecuali setelah
berlalu masa yang panjang. Bila engkau ingin, aku akan melepaskan ikatan kita
baik-baik. Namun bila engkau tetap ingin bersabar menjadi istriku, aku pun akan
melakukannya akan tetapi sungguh aku tak tahu kapan aku dapat kembali
kepadamu.”
Sang istri memilih
untuk tetap menjadi istrinya, memilih kesabaran sebagai tempatnya berpijak
karena ia sadar perpisahan apalagi dalam waktu yang lama tentu sangat pahit.
Berangkatlah sang
suami menempuh perjalanan panjang dan tinggal di Madinah. Ia menikmati
nikmatnya ilmu mengalir, ia tidak tersibukkan dengan sesuatu apapun tapi
semata-mata perhatiannya ditujukan untuk ilmu. Dalam masa penantian sang istri,
ia telah melahirkan seorang anak laki-laki dan
telah tumbuh besar. Namun sang suami tidak mengetahui berita kelahiran
putranya ini, karena waktu terus bergulir, dan komunikasi dengan istrinya telah
terputus sejak tujuh belas tahun!
Biarkanlah Ia
menceritakan kisahnya sendiri, “Ketika suatu hari aku sedang berada di sisi
Imam Malik dalam majelis Beliau, tiba-tiba datang kepada kami seorang pemuda
dalam keadaan menutup wajahnya. Ia mengucapkan salam kepada Imam Malik.
Kemudian pemuda tersebut bertanya, “Apakah di antara kalian ada yang bernama
Abdurrahman al-Utaqi?”
Orang-orang yang
hadir saat itupun menunjukkan lelaki yang ditanyakan si pemuda. Pemuda itu
mendatangiku, merangkulku, dan mengecup keningku. Aku memiliki firasat bahwa ia
adalah anakku. Ternyata betul, ia memang
anakku yang dulunya aku tinggalkan ketika ia masih dalam kandungan istriku.
Sekarang ia telah besar dan menjadi seorang pemuda.”
Kesabaran yang luar
biasa dari sang istri sungguh mencengangkan setiap kita. Dalam keadaan
mengandung ditinggal oleh sang suami, hingga ia melahirkan dan membesarkan
anaknya sendiri, sampai sang anak tumbuh besar dan menyusul sang ayah ke kota
madinah untuk sama-sama menuntut ilmu di sisi alim besar di masanya, imam Darul
Hijrah, Imam Malik –rahmatullahi 'alaih-.
Dan kelak Abdurrahman
al-Utaqi ini menjadi murid kenamaan Imam Malik dan menjadi Mufti Negri Mesir
pada masanya. Perkataan-perkataannya menjadi perkataan yang paling didengar
dalam madzhab Malikiyah. Dahulu ketika ulama ingin mengetahui pandangan Imam
Malik terhadap suatu permasalahan, maka mereka akan datang ke alim ini, Abdurrahman
al-Utaqi.
Dan kita tahu,
kemuliaan itu tidak datang dengan tiba-tiba begitu saja, Beliau-rahimahullah- menebus
semua itu dengan pengorbanan yang tidak mudah, bahkan mungkin bagi sebagian
kita aneh dan terkesan berlebih-lebihan. Tetapi begitulah ulama Salaf
mengajarkan kepada kita 'nafsu' terhadap ilmu. Tidak mudah memang, sebanding
dengan apa yang pernah Rasulullah –shollallohu ;alaihi wasallam-kabarkan
tentang mereka,
“Siapa yang menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan
menuntun jalannya menuju syurga. Sesungguhnya Malaikat meletakkan sayap-sayapnya
sebagai keridhaan kepada orang yang menuntut ilmu. Dan sesungguhnya orang alim
akan dimohonkan ampun oleh siapa yang ada di langit dan di bumi dan ikan-ikan
yang ada di dasar air. Sesungguhnya keutamaan orang berilmu dari ahli ibadah
seperti keutamaan bulan di malam purnama dari seluruh bintang-bintang, para
ulama adalah pewaris para Nabi, dan para Nabi tidak mewariskan dinar ataupun
dirham, tetapi mewariskan ilmu, maka barangsiapa yang mengambilnya, sungguh dia
telah mengambil bagian yang banyak." (H.R. Abu
Daud dan At-Tirmizi)
1 komentar:
Raihlah ilmu di jalan Allah.. Maka Ia akan menjaga semua yang engkau tinggalkan di tanah air... Percayalah.. :)
Posting Komentar