Kawan …
Sempatkanlah diri sejenak membuka rekaman laku kita, kita kadang mengangguk-angguk sendiri. Dalam lipatan-lipatan sejarah itu ada saja suasana ketidakpenerimaan akan takdirNya, didukung dengan nalar yang dangkal dan penghakiman secara sepihak atas nama perasaan.
Ya, hanya meraba-raba dari ketidaktahuan.
Kalau kepada manusia saja kita kadang mengedepankan asas praduga tidak bersalah, lalu mengapa untuk ketentuan dariNya kita tidak menerapkan hal yang serupa. Mengapa untuk berprasangka baik kepada Allah begitu sulitnya. Padahal, kita yakin bahwa Dia yang paling mengetahui mana yang terbaik untuk kita. Mana yang menjadi jalan kepada kita untuk meraih sebuah titian yang tepat.
ِ
Mirip dengan anekdok seorang anak yang menyelematkan seekor ikan dari kolam. "Aku tadi melihatnya tenggelam", begitu ungkapan pembelaan sang anak. Tanpa disadarinya ternyata dia telah menjadi racun disaat ia berharap menjadi madu. Niatnya boleh baik, tapi tidak cukup dengan niat baik tentunya. Karena kalkulasi kebaikan dan keburukan sesuatu adalah atas apa yang ditentukanNya.
Kawan …
Kita hanya bisa melangkah sembari berusaha memperhatikan ketepatan dalam mengatur dan menempatkan langkah itu. Kalaupun nanti harus terpeleset, Qaddarallahu. Mungkin dengan terpelesetnya kita ada rahasia indah di situ. Mungkin nanti setelah sampai di ujung baru menyadari sembari berkata "Alhamdulillah, untung saya terpeleset tadi".
Persis seperti seorang yang mengamati pohon labu. "Betapa tidak adilnya, pohon yang amat kecil namun berbuah sangat besa. Sangat tidak adil". Orang ini kemudian berteduh di bawah pohon yang besar, berdaun rindang. Sangat tepat sebagai tempat berlindung dari terik matahari. Namun sikap membrontaknya semakin menjadi ketika ia mendapati buah pohon tersebut, begitu kecil hanya sebesar biji kelereng, kebalikan dari pohon labu tadi. " Sepertinya di dunia ini memang tidak ada keadilan".
Lelah kemudian membawanya dalam tidur, namun tiba-tiba saja satu dari sekian banyak buah pohon itu jatuh dan mengenai mukanya. Tersadarlah ia betapa adilnya Allah, bisa dibayangkan kalau buah yang jatuh sebesar buah labu dan mengenai mukanya. Subhanallah!..
”Alaisallahu biahkamil haakimiin"
Bukankah Allah itu hakim yang seadil-adilnya. (Qs. At Tiin 8)
Makassar, 15031431
0 komentar:
Posting Komentar