Minggu, Maret 07, 2010

Menakar Esensi Keadilan

Menyaksikan semakin kompleksnya intrik politik dalam negeri, membuat dunia sebagai panggung sandiwara betul-betul mempertontonkan drama memilukan bernama ketidakadilan.

Teramat sering kita lihat dan saksikan di berbagai media, aparat hukum hanya tegas terhadap rakyat jelata. Sementara golongan atas yang nyata-nyata mengkhianati hukum memiliki akses yang begitu mudah untuk mengarahkan keputusan-keputusan, sehingga nampak aturan-aturan itu begitu tak memiliki kekuatan. Ada jurang pemisah yang begitu dalam antara keduanya.


Kita kadang dibuat tak habis pikir oleh beberapa kasus-kasus 'kecil' yang dilakukan oleh rakyat bawah yang berujung di jeruji besi. Sementara dalam waktu yang sama seorang pelanggar hukum berat begitu entengnya menggeser kedaulatan hukum, Kalaupun ia juga penjadi penghuni bui, bukan sel penjara yang ia jumpai namun 'hotel' yang dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas mewah dan perangkat-perangkat hidup yang memungkinkannya berleha-leha. Innalillah, Begitu kontras ketidakadilan itu.

Bandingkan dengan supremasi hukum pada masa Rasulullah. Di suatu waktu, seorang putri dari pembesar Quraisy yang bernama Fathimah binti Aswad kedapatan mencuri. Keluarga wanita tersebut kemudian mengupayakan agar dia terhindar dari hukuman potong tangan, terjadilah lobi-lobi kepada orang-orang yang berada di dekat Rasulullah. Mereka menemui Usamah bin Zaid, seorang sahabat yang begitu dicintai oleh Rasulullah untuk memintakan kepada Rasulullah agar wanita ini terbebas dari hukuman.

Mendengar permintaan Usamah, warna wajah Rasulullah kemudian memerah karena menahan amarah, kemudian Beliau bersabda "Apakah kamu ingin membicarakan kepada saya mengenai satu hokum di antara hukum-hukum Allah? Apakah kamu akan menolong orang yang melanggar batas-batas Allah?". Mendengar jawaban Rasulullah yang demikian tegasnya,"Ampunilah saya, ya Rasulullah!" kata Usamah sendu. Sorenya, Rasulullah mendatangi orang banyak. "Wahai segenap manusia! Yang telah membinasakan orang-orang terdahulu sebelum kalian yaitu apabila orang-orang mulia di antara mereka yang mencuri, maka mereka tegakkan hukuman atasnya. Sebaliknya, jika para petinggi mereka mencuri, maka mereka mengabaikannya. Demi Dzat yang diri Muhammad ada di tanganNya, seandainya Fathimah binti Muhammad mencuri (putri Beliau), maka sungguh aku sendiri yang akan memotong tangannya." Tegas Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari.

Jauh-jauh hari Rasulullah telah memberikan warning kepada ummatnya bahwa perlakuan hukum yang pandang bulu menyebabkan hancurnya ummat-ummat terdahulu. Ketika pemimpin zhalim yang berkuasa, maka kerusakan yang ditimbulkannya tidak hanya berpulang kepada dirinya, namun ummat dan rakyat pada umumnya turut merasakan mudhorat tersebut, yang tentu saja kelak akan mendapat kesempatan menjadi saksi atas perbuatan pemimpinnya di hadapan Allah.

Sayangnya, apa yang Beliau telah wanti-wantikan justru tengah menjadi waqi' (kenyataan) di tengah masyarakat dan bangsa ini. Ketidakadilan hingga hari ini masih menjadi PR serius, supremasi hukum dan keadilan hanya berhenti di podium-podium perpolitikan yang kian hari, kian menjemukan. Kata adil menjadi materi retorika politik saja. Keadilan menjadi barang langka dalam ranah nyata.

Rasulullah bersabda, "Ada empat golongan yang paling Allah benci. Pedagang yang banyak bersumpah, orang fakir yang sombong, orang tua yang berzina, dan seorang pemimpin yang zhalim." (HR. An-Nasai)

Tidak sampai di situ, Rasulullah memberikan tarhib bagi para pemimpin yang zhalim. Di dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, Rasulullah bersabda, " Tidaklah ada seorang hamba yang Allah beri kepercayaan untuk memimpin, kemudian pada saat matinya dia berada dalam (keadaan) melakukan penipuan atas rakyatnya, kecuali akan diharamkan baginya untuk masuk surga."

Para pemimpin sejatinya adalah orang-orang yang diamanahkan atasnya untuk mengurusi perkara rakyatnya hingga tercipta kedamaian hidup hakiki yang bukan hanya di dunia ia mendapatkan imbalan atas amanah yang telah diembannya tersebut namun berlanjut di akhirat kelak, alam keabadiaan. Jabatan pemimpin adalah amanat yang berat, oleh karena itu kedudukan pemimpin yang adil di sisi Allah sangat tinggi, karena ia menduduki urutan pertama dalam tujuh golongan yang akan diberi naungan oleh Allah pada hari tidak ada naungan kecuali naunganNya, sebagaimana sabda Rasulullah :

“Tujuh golongan yang akan diberi naungan oleh Allah pada hari tidak ada naugan kecuali naunganNya: pemimpin yang adil, pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Allah azza wajalla, orang yang hatinya selalu terpaut kepada masjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah, keduanya berkumpul dan berpisah atas dasar kecintaan kepada Allah, seorang lelaku yang diajak berbuat serong oleh wanita cantik lalu ia berkata: sesungguhnya aku takut kepada Allah, dan orang yang bersedekah lalu ia menyembunyikan sedekahnya sehingga tangan kirinya tidak tahu apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya, dan orang yang mengingat Allah di waktu sepi lalu air matanya berlinang “ (Muttafaq alaih)

Salah satu unsur yang sangat penting yang harus ada dalam diri seorang pemimpin tersebut adalah keadilan. Seperti yang difirmankan Allah dalam Al-Quran Surah Shaad ayat 26 : “Hai Daud, sesungguhnya Kami telah nobatkan kamu menjadi (pemimpin) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.".

Islam sendiri sebagai bukti ketinggiannya menyariatkan hudud (hukuman) terhadap pelanggar pidana dalam berbagai kasus. Penetapan hal ini tidak sekedar menjadi alat hias atau sekedar menakut-nakuti. Namun, hal itu semua untuk menjaga eksistensi dan keberlangsungan hidup manusia yang harmoni.

Kita begitu rindu akan hal itu, kondisi masyarakat yang betul-betul merasakan esensi hukum yang sesungguhnya. Kita rindu masyarakat diatur oleh apa yang ditetapkan Allah secara totalitas (kaffah). Bukan malah sebaliknya hukum Allah dihina sana-sini dan ditawar-tawar, diplesetkan untuk satu tujuan yang sesaat. Kasihan.

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu.” (QS. An Nisaa': 135)

Wallahu a'lam bishowab wa huwa ahkamul haakimiin.

Makassar, 040310

Dimuat di: http://eramuslim.com/suara-kita/pemuda-mahasiswa/menakar-esensi-keadilan.htm

0 komentar:

Posting Komentar

Photobucket Photobucket Photobucket
marzukiumar.com © 2007 supported by www.iu.edu.sa allright reserved